Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan yang memberi ruang bagi guru untuk memenuhi ketentuan jam kerja minimal 24 jam tatap muka dengan berbagai alternatif kegiatan tambahan di luar kelas atau sekolah memang melegakan guru, tetapi ketentuan itu hanya dianggap solusi sementara.
Pemerintah diminta untuk mengakui keseluruhan tugas pokok dan fungsi guru sebagai jam kerja guru dan tidak membebani dengan ketentuan minimal 24 jam mengajar tatap muka yang sulit dipenuhi sebagian besar guru.
Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), secara terpisah di Jakarta, Minggu (27/9), mengatakan Permediknas tersebut untuk sementara memang menjadi solusi di tengah kebingungan guru yang harus memenuhi ketentuan jam mengajar tatap muka minimal 24 jam per minggu.
Aturan tersebut dalam kenyataannya sulit dipenuhi guru, terutama untuk guru bidang pelajaran yang jam mengajarnya hanya dua jam per minggu seperti guru Agama, Olahraga, Sejarah, atau Pendidikan Kewarganegaraan, terutama di jenjang SMP-SMA/SMK, serta guru yang berada di sekolah yang jumlah murid dan kelasnya sedikit.
Di dalam Permendiknas soal Pemenuhan Beban Kerja guru dan Pengawas Satuan Pendidikan yang disahkan Juli lalu, disebutkan beban kerja guru harus memenuhi syarat minimal 24 jam mengajar tatap muka, dan maksimal 40 jam tatap muka.
Untuk membantu guru-guru yang tidak dapat memenuhi ketentuan jam kerja minimal, ada berbagai alternatif kegiatan tambahan yang bisa dipilih sebagai solusi yang sudah harus dilaksanakan paling lama dua tahun setelah terbitnya Permendiknas tersebut.
Guru yang belum memenuhi beban jam mengajar bisa menjadi guru mengajar mata pelajaran lain di sekolahnya atau di sekolah lain. Selain itu bisa jadi tutor di pendidikan nonformal sebagai tutor paket A, B, C atau keaksaraan, guru pamong di sekolah terbuka, guru inti/instruktur/tutor di kegiatan kelompok kerja guru atau musyawarah guru mata pelajaran, pembina kegiatan ekstrakurikuler, membina pengembangan diri peserta didik, melakukan pembelajaran bertim, atau melakukan pembelajaran perbaikan.
Menurut Iwan, persoalan kebutuhan dan distribusi guru yang tidak jelas menyebabkan persoalan di sebagian daerah kelebihan, di sebagian daerah lain kekurangan guru. Ketentuan minimal 24 jam mengajar tatap mula itu juga menimbulkan ekses di lapangan dengan dikorbankannya jatah jam mengajar guru-guru muda atau guru yunior.
Iwan yang juga menjabat Wakil Kepala Sekolah SMAN 9 Bandung, menjelaskan persoalan ketentuan jam mengajar itu akan terasa saat guru dinyatakan lulus sertifikasi dan hendak mendapat tunjangan profesi dari pemerintah yang besarnya satu kali gaji pokok.
Seperti terjadi di sekolah tersebut, guru yunior Pendidikan Kewarganegaraan terpaksa dikurangi jam mengajarnya supaya dua guru senior lain yang sudah lulus sertifikasi bisa memenuhi jam mengajar 24 jam tatap muka untuk mememenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru.
Para guru, kata Iwan, kini disibukkan dengan usaha untuk mencari kegiatan lain, seperti mengajar di sekolah lain. Guru-gurun pegawai negeri sipil umumnya mudah diterima untuk menjadi guru di sekolah swasta karena mereka tidak menuntut bayaran tinggi, yang penting bisa memenuhi kekurangan jam mengajar. Berbagai hambatan guru untuk memperoleh kesejahteraan itu dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah untuk membela kepentingan guru.
"Persoalan guru di kota, kelebihan guru. Terutama untuk guru-guru yang mengajar mata pelajaran umum, mereka jadi sedikit jam mengajarnya. Di pedesaan, selain guru0guru sulit memenuhi jam mengajar karena jumlah kelas dan siswa yang sedikit. Seharusnya, jam mengajar guru itu diperhitungkan secara keseluruhan tugas dia mulai dari merencanakan pekerjaan, melaksanakannya, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, hingga mengadakan remedial atau perbaikan," kata Iwan.
Sulistiyo menyebutkan pemerintah perlu membuat peraturan lain yang lebih permanen soal beban kerja jam guru, yang mesti diperbaiki dari yang ada. Kerja guru tidak bisa disamakan dengan beban kerja PNS lain yang ditetapkan 37 jam per minggu. [kompas]
27/09/2009
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan yang memberi ruang bagi guru untuk memenuhi ketentuan jam kerja minimal 24 jam tatap muka dengan berbagai alternatif kegiatan tambahan di luar kelas atau sekolah memang melegakan guru, tetapi ketentuan itu hanya dianggap solusi sementara.
Pemerintah diminta untuk mengakui keseluruhan tugas pokok dan fungsi guru sebagai jam kerja guru dan tidak membebani dengan ketentuan minimal 24 jam mengajar tatap muka yang sulit dipenuhi sebagian besar guru.
Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), secara terpisah di Jakarta, Minggu (27/9), mengatakan Permediknas tersebut untuk sementara memang menjadi solusi di tengah kebingungan guru yang harus memenuhi ketentuan jam mengajar tatap muka minimal 24 jam per minggu.
Aturan tersebut dalam kenyataannya sulit dipenuhi guru, terutama untuk guru bidang pelajaran yang jam mengajarnya hanya dua jam per minggu seperti guru Agama, Olahraga, Sejarah, atau Pendidikan Kewarganegaraan, terutama di jenjang SMP-SMA/SMK, serta guru yang berada di sekolah yang jumlah murid dan kelasnya sedikit.
Di dalam Permendiknas soal Pemenuhan Beban Kerja guru dan Pengawas Satuan Pendidikan yang disahkan Juli lalu, disebutkan beban kerja guru harus memenuhi syarat minimal 24 jam mengajar tatap muka, dan maksimal 40 jam tatap muka.
Untuk membantu guru-guru yang tidak dapat memenuhi ketentuan jam kerja minimal, ada berbagai alternatif kegiatan tambahan yang bisa dipilih sebagai solusi yang sudah harus dilaksanakan paling lama dua tahun setelah terbitnya Permendiknas tersebut.
Guru yang belum memenuhi beban jam mengajar bisa menjadi guru mengajar mata pelajaran lain di sekolahnya atau di sekolah lain. Selain itu bisa jadi tutor di pendidikan nonformal sebagai tutor paket A, B, C atau keaksaraan, guru pamong di sekolah terbuka, guru inti/instruktur/tutor di kegiatan kelompok kerja guru atau musyawarah guru mata pelajaran, pembina kegiatan ekstrakurikuler, membina pengembangan diri peserta didik, melakukan pembelajaran bertim, atau melakukan pembelajaran perbaikan.
Menurut Iwan, persoalan kebutuhan dan distribusi guru yang tidak jelas menyebabkan persoalan di sebagian daerah kelebihan, di sebagian daerah lain kekurangan guru. Ketentuan minimal 24 jam mengajar tatap mula itu juga menimbulkan ekses di lapangan dengan dikorbankannya jatah jam mengajar guru-guru muda atau guru yunior.
Iwan yang juga menjabat Wakil Kepala Sekolah SMAN 9 Bandung, menjelaskan persoalan ketentuan jam mengajar itu akan terasa saat guru dinyatakan lulus sertifikasi dan hendak mendapat tunjangan profesi dari pemerintah yang besarnya satu kali gaji pokok.
Seperti terjadi di sekolah tersebut, guru yunior Pendidikan Kewarganegaraan terpaksa dikurangi jam mengajarnya supaya dua guru senior lain yang sudah lulus sertifikasi bisa memenuhi jam mengajar 24 jam tatap muka untuk mememenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru.
Para guru, kata Iwan, kini disibukkan dengan usaha untuk mencari kegiatan lain, seperti mengajar di sekolah lain. Guru-gurun pegawai negeri sipil umumnya mudah diterima untuk menjadi guru di sekolah swasta karena mereka tidak menuntut bayaran tinggi, yang penting bisa memenuhi kekurangan jam mengajar. Berbagai hambatan guru untuk memperoleh kesejahteraan itu dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah untuk membela kepentingan guru.
"Persoalan guru di kota, kelebihan guru. Terutama untuk guru-guru yang mengajar mata pelajaran umum, mereka jadi sedikit jam mengajarnya. Di pedesaan, selain guru0guru sulit memenuhi jam mengajar karena jumlah kelas dan siswa yang sedikit. Seharusnya, jam mengajar guru itu diperhitungkan secara keseluruhan tugas dia mulai dari merencanakan pekerjaan, melaksanakannya, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, hingga mengadakan remedial atau perbaikan," kata Iwan.
Sulistiyo menyebutkan pemerintah perlu membuat peraturan lain yang lebih permanen soal beban kerja jam guru, yang mesti diperbaiki dari yang ada. Kerja guru tidak bisa disamakan dengan beban kerja PNS lain yang ditetapkan 37 jam per minggu. [kompas]
1 komentar:
Hanya akal-akalan aja...ohm
Posting Komentar